Kisah Menjelang Presiden Soekarno Ditahan Militer Belanda

DIY - Kisah detik-detik terakhir sebelum Presiden Sukarno ditangkap oleh militer Belanda dalam Operasi Gagak.

Perasaan tak menentu meliputi hati Letnan Dua Sukotjo Tjokroatmodjo ketika memandang langit Yogyakarta pagi itu.

Tepat di atas Benteng Ft Vredenburg beberapa pesawat pembom Belanda terlihat melayang-layang rendah. Sesekali mereka menembaki bagian tertentu Istana Negara.

Habis reda tembakan dan ledakan bom, anggota Kompi II Batalyon B Mobil Corps Polisi Militer (CPM) itu melihat parasut-parasut pasukan lintas udara militer Belanda bergelayutan di atas Maguwo.

"Saya lalu berlari ke dalam Istana dan memberitahu kawan-kawan bahwa Belanda telah menyerang," kenangnya.

Koordinasi word play here terjalin cepat. Pasukan pengawal Presiden Sukarno bersiaga dengan senjata masing-masing.

Mereka bersiap menghadapi datangnya serbuan militer Belanda. Baru saat memasuki senja, sepasukan prajurit lintas udara Belanda datang.

Mereka langsung mengepus Istana Negara dan menjadikan halaman Kantor Pos sebagai pusat komando-nya. Terjadilah tembak menembak yang sangat seru.

"Harus diakui, saat itu kekuatan kita tidak seimbang dibanding pasukan lawan," ungkap Sukutjo.

Memiliki firasat buruk, Sukotjo lantas mengusulkan agar pasukan Letnan Dua Susetio menyelamatkan Presiden Sukarno dan jajarannya melalui pintu belakang.

Dia sendiri akan memimpin 30 prajurit CPM untuk menghadang serbuan militer Belanda hingga titik darah penghabisan.

Namun Susetio sendiri bukanlah pembuat keputusan puncak. Dia kemudian mengajak Sukotjo untuk menghadap Mayor Gandi, yang tak lain adalah ajudan pribadi Presiden Sukarno.

Alih-alih mendapat instruksi, Mayor Gandi malah membawa Sukotjo ke hadapan Presiden Sukarno yang tengah berdiskusi di serambi belakang Istana Negara bersama Haji Agus Salim, Komodor Udara Suryadarma dan Sekretaris Negara Irsan.

"Ada apa, Carbon monoxide?" sapa Bung Karno.

Sukotjo maju selangkah. Dengan posisi tegap dan sikap yang bersemangat, dia lantas menyampaikan rencananya kepada Presiden Sukarno: mulai dari A sampai Z. Usai mendengar usulan Sukotjo, Presiden terdiam sejenak.

Sambil memandang Sukotjo, Bung Karno berkata dalam nada pelan namun terdengar tegas.

"Begini ya Co, Merah Putih, tidak akan menyerah (seraya mengacungkan tangan kanan nya ke atas), tetapi kita harus menyerahkan tempat ini kepada Belanda (dalam nada datar)," ujar Presiden Sukarno.

Bagai disambar petir, Sukotjo terperangah mendengar kata-kata presidennya itu.

Dia lalu merasa tubuhnya lemah lunglai. Dalam posisi masih tegak, dia meluapkan emosinya dengan air matanya yang meleleh ke pipi pelan-pelan. Suasana pun menjadi tak karuan.

Tanpa disangka semua orang yang hadir di sana, tiba-tiba Sukotjo melepas handgun dan klewang yang ada di pinggang lalu menjatuhkannya tepat di depan Sukarno.

"Sudah empat tahun berperang kok kita menyerah?!" katanya sambil berlalu tanpa memberi hormat lagi.

Sejarah kemudian mencatat, tentara Belanda menawan Presiden Sukarno beserta jajarannya dan membawa mereka ke tanah pengasingan di Sumatera.

Menurut Himawan Soetanto, proses penangkapan ini dinilai pihak Belanda merupakan bagian yang paling mendebarkan dalam Operasi Gagak.

"Itu merupakan saat yang fading dramatis dari pertikaian Indonesia-Belanda," tulis Himawan dalam buku Yogyakarta, 19 Desember 1948.

Tetapi penangkapan dan pengasingan Sukarno beserta jajarannya disambut dingin oleh Komandan Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, Jenderal Spoor.

Alih-alih merasa senang, saat dilapori soal itu oleh Komandan Operasi Jawa Tengah Jenderal Meier, Spoor justru menyambutnya dengan teriakan: "Kita kalah!"


Spoor nampaknya 'tak ikhlas' Sukarno ditangkap begitu saja. Dalam skenario besar di kepalanya, Sukarno justru harus melawan dan tepaksa ditembak mati.

Atau setidaknya dia ikut pergi ke hutan bersama Panglima Besar Soedirman untuk memimpin gerilya.

"Langkah membiarkan diri tertawan itu merupakan langkah politik yang berakibat baik bagi perjuangan kemerdekaan kita, dan sama sekali tidak terpikirkan oleh saya yang saat itu memang masih ingusan dalam soal politik" kenang Sukotjo.

Pasukan pengawal Presiden Sukarno sendiri tidak melakukan perlawanan berarti dalam penyerbuan militer Belanda ke Istana Negara itu.

Mereka kemudian ikut ditangkap (termasuk Sukotjo). Tetapi beberapa jam kemudian, secara nekad Sukotjo lari dari tahanan para prajurit KST (Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Kerajaan Belanda) dan berhasil menggabungkan diri dengan induk pasukannya.

"Saya ditembaki dengan senapan mesin, tapi alhamdulillah berhasil lolos," kenangnya.

Sukotjo kemudian tercatat aktif terus bertempur melawan militer Belanda di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Itu dilakukannya hingga penyerahan kedaulatan dilakukan oleh Belanda pada 27 Desember 1949.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibuikota India Menutup Sekolah Selama Sepekan dan Mempertimbangkan Lockdown Polusi Karena Udara Semakin Tercermar

Cerita Kehidupan Warga Surabaya Era Tahun 1850-an Pada Belum ada Penerangan Jalan

Sejarah Jaman Ir.Soekarno Terkait Konfrotasi Indonesia Dengan Malaysia