Kisah 4 Warga Xinjiang Eks Camp Detensi Tentang Kehidupan Mereka Dahulu

Jakarta - Dalam acara online Xinjiang Is a Remarkable Land, Kamis (18/11) empat warga Xinjiang berkesempatan untuk menceritakan kehidupan mereka di sana.

Acara ini diselenggarakan oleh Kedutaan Besar China untuk Indonesia dan Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang, dalam rangka memperkenalkan Xinjiang kepada masyarakat dan menepis tuduhan oleh Barat soal pelanggaran HAM.

Narasumber pertama bernama Arkin Qutpidin. Qutpidin mengisahkan, ia dulu adalah seorang peserta dari kamp vokasi di area Xayar, Xinjiang, untuk menjalani proses "deradikalisasi".

"Suatu hari, satu orang tak dikenal menunjukkan kepada saya sebuah situs yang memperlihatkan ideologi keagamaan ekstremis. Seperti, orang kafir akan masuk neraka setelah meninggal, dan orang China adalah kafir," ujar Qutpidin.

Karena terpengaruh oleh ideologi tersebut, Qutpidin mengaku menjauhi masyarakat China dan berhenti membeli barang-barang produksi mereka karena "tidak halal."

"Orang tua saya pun meminta saya untuk masuk ke pusat vokasi. Dan ini sangatlah bagus. Pusat ini menawarkan kursus vokasi dan deradikalisasi. Ekstremisme sangatlah berbahaya dan merupakan racun, membuat saya hampir hilang akal," lanjutnya.

Ia kemudian menceritakan pengalaman nyamannya berada di pusat vokasi. Qutpidin saat itu mengambil kursus perdagangan elektronik (e-commerce) dan administrasi bisnis.

Setelah lulus, ia akhirnya berhasil mendirikan perusahaan di sektor keuangan. Kini ia tinggal di apartemen bersama istrinya, memiliki mobil yang bagus, dan mampu membawa orang tuanya berlibur.

"Saya dengar, orang-orang di luar membuat rumor bahwa pusat vokasi itu keji seperti kamp konsentrasi. Itu adalah bohong. Lihat saya sekarang. Setelah lulus, saya membangun perusahaan sendiri dan juga kehidupan yang baru," tutupnya.

Sedangkan narasumber kedua adalah imam di Masjid Yanghang, Ibu Kota Urumqi. Namanya adalah Muhtiram Sherip. Ia merupakan pimpinan dari Asosiasi Islam Xinjiang.

"Pada 1987, saya lulus dari China Islamic Institute dan saya dikirim ke Libya untuk belajar selama 5 tahun. Setelah saya kembali ke China, saya bekerja sebagai guru di Xinjiang Islamic Institute selama 14 tahun dan kemudian saya menjadi imam di Mosque Yanghang," ujar Sherip.

Sherip, yang sudah menjadi imam selama 9 tahun lamanya, menceritakah kehidupan beragama di Xinjiang sebagai Muslim. Penganut Islam dapat mempelajari Islam di masjid, dan mendengar kajian dari imam mosque.

"Warga Xinjiang menikmati hak kebebasan beragama. Jadi, ini didasari oleh keinginan mereka untuk percaya atau tidak percaya dalam agama apa pun. Mereka bisa beribadah di masjid atau di rumah mereka, atau merayakan hari keagamaan," ujarnya.

Masjid Yanghang, kata Sherip, memiliki perpustakaan yang dilengkapi lebih dari 1.800 buku, mulai dari kitab suci Al-Quran, kitab hadis Sahih al-Bukhari, hingga buku-buku sejarah, kebudayaan, dan teknologi.

"Cara lainnya untuk mempelajari Islam [di Xinjiang] adalah dengan belajar di institut keagamaan Islam. Keseluruhan, kita memiliki 10 perguruan Islam di Xinjiang. Mereka bisa belajar. Contohnya adalah saya," papar dia.

Narasumber yang ketiga adalah Pimpinan Asosiasi Wanita di Aghu, Kota Artux, Prefektur Kirghiz. Namanya adalah Ayqamar Tursun.

Ia mengisahkan bagaimana wanita di Xinjiang, yang dulunya hanyalah ibu rumah tangga biasa, kini menjadi "tulang punggung" kemajuan di provinsi tersebut. Ia juga membanggakan asuransi dan insentif yang diberikan pemerintah Xinjiang kepadanya sebagai seorang ibu.

"Pada Oktober 2015, saya mengandung dan ketika klinik di desa mendengar kabar itu, mereka mengirim dokter ke rumah saya dan menjelaskan soal kesehatan ibu hamil," ujar dia.

Ketika melahirkan, Tursun mengatakan asuransi dan layanan social security pemerintah membantu membiayai biaya persalinan.

Ia pun memperkenalkan wanita-wanita di Desa Aghu, yang aktif bekerja sebagai pemilik toko hingga pemilik hair salon kecantikan. Ia juga mempromosikan kesenian menyulam di kain yang sangat besar, dijahit oleh para wanita desa ini.

"Di masa lalu, wanita di desa hanya tinggal di rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah, dan sekarang pikiran mereka sudah berubah dan mereka ingin bekerja untuk memperbaiki hidup mereka," kata ibu dua anak ini.

"Bahkan ada yang pergi dari desa untuk bekerja dan menghasilkan banyak uang. Ketika mereka kembali [ke desa], mereka membangun rumah yang besar."

Narasumber terakhir adalah seorang mahasiswa seni di Xinjiang Art Institute bernama Jawlan Mamattursun. Dia adalah seorang penari yang mengikuti International Dancing Event.

Ia mengisahkan soal perguruan tinggi tempatnya berkuliah dan juga sejumlah instrumen musik seperti dolan rawap, ghijek, dan rawap.

"Di kampus ini, ada 12 departemen termasuk jurusan seni tari dan seni musik. Di jurusan seni tari, terdapat 457 mahasiswa dari kelompok etnis yang berbeda-beda seperti Han, Uighur, Kazakh, dan Mongolia," jelasnya.

Pada acara tersebut, sempat diputar pertunjukan tarian Makit in Sunlight. Jawlan ikut berkompetisi pada ajang seni tari bergengsi di China, Lotus Honors, dengan menarikan tarian tersebut. Kelompoknya menang pada kompetisi tersebut.

"Tarian ini terinspirasi dari perdamaian dan hidup berharmoni di Xinjiang. Tarian ini ditampilkan oleh Departemen Seni Tari sebanyak 22 mahasiswa dari lima kelompok etnis, meliputi Han, Uighur, Hui, Xibe, dan Mongolia. Ini menunjukkan kebudayaan China," jelas Jawlan.

Sebelum mengakhiri ceritanya, ia menegaskan rumor-rumor seperti penghapusan kebudayaan di Xinjiang tidak benar adanya. Menurutnya, hal ini dibuktikan dengan menangnya tarian Makit in Sunshine di Lotus Honors.

"Saya membaca berita-berita luar negeri yang mengatakan Xinjiang melakukan genosida kebudayaan. Ini sepenuhnya bohong. Xinjiang adalah bagian dari kebudayaan besar China," tutupnya.

Provinsi Xinjiang, China, sudah lama mencuri perhatian dunia. Hal ini disebabkan oleh adanya dugaan pelanggaran pork yang dilakukan oleh China terhadap etnis Uighur, minoritas Muslim di Negeri Tirai Bambu.

Media Barat hingga organisasi pork internasional sudah berkali-kali merilis laporan terjadinya kekerasan di China.

Mulai dari pembuatan kamp vokasi yang disebut sebagai kamp detensi bagi Uighur, kekerasan seksual, sistem kerja paksa, penghapusan kebudayaan dan agama, hingga genosida etnis.

Hingga saat ini, China tidak memberikan akses kepada lembaga internasional untuk masuk ke Xinjiang dan melakukan investigasi. Menurut pemerintah China, tindakan Barat itu merupakan bentuk ikut campur urusan dalam negeri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibuikota India Menutup Sekolah Selama Sepekan dan Mempertimbangkan Lockdown Polusi Karena Udara Semakin Tercermar

Cerita Kehidupan Warga Surabaya Era Tahun 1850-an Pada Belum ada Penerangan Jalan

Sejarah Jaman Ir.Soekarno Terkait Konfrotasi Indonesia Dengan Malaysia