Kisah Perdamaian Kerjaan Pajajaran dan Kerajaan Majaapahit

JakartaSebagai dua wilayah dengan kultur berbeda, Kerajaan Majapahit dan Pajajaran tak selalu menampilkan hubungan yang tak harmonis.

Salah satunya terlihat dari pernikahan antara Raja Majapahit bergelar Prabu Brawijaya dan Puteri Pajajaran Kencana Larang melalui sejarah Maung Panjalu yang melegenda.

Dilansir dari tulisan Ceppi Gunawan di elib.unikom.ac.id tahun 2015 (8/7), dikisahkan jika pernikahan keduanya berjalan harmonis hingga Puteri Kencana Larang hamil dan melahirkan anak kembar bernama Bongbang Larang dan Bongbang Kencana.

Kedua anak kembar tersebut kemudian menjadi simbol persahabatan antara Jawa dan Sunda, setelah berubah menjadi dua ekor maung di kawasan Panjalu, Jawa Barat.

Berikut kisah selengkapnya.

Upaya Memutus Permusuhan Perang Bubat


Kisah persaudaraan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pajajaran tersebut bermula dari keinginan Raja Brawijaya untuk memutus permusuhan dengan Negara Pajajaran (Sunda) oleh leluhur mereka, yakni Raja Hayam Wuruk dan Puteri Dyah Pitaloka pasca perang Bubat.

Ide tersebut ia dapatkan saat merenung di tengah malam, sembari memandangi keindahan hamparan bintang di langit.

Tak berselang lama, Raja Brawijaya mengumpulkan patihnya untuk mengutarakan niat silaturahmi melalui ikatan perkawinan dengan Puteri Pajajaran yakni Kencana Larang.

Perjalanan jauh beserta surat permohonan pun sudah disiapkan, termasuk membawa prajurit andal untuk mengawal misi perdamaian tersebut.

Diterima Baik Oleh Raja Pajajaran

Sebagai ajakan yang dinilai baik, raja Pajajaran word play here menerima dengan hangat pinangan raja Brawijaya tersebut. Hingga tibalah hari pernikahan, dan Puteri Kencana Larang diboyong ke Negara Majapahit di Jawa.

Saat itu, isi surat silaturahmi yang dibawa dari Majapahit disebut menjadi penguat ikatan antara keduanya. Adapun pesan kasih sayang dan perdamaian mendominasi di teks yang ditulis oleh raja Brawijaya, sehingga dianggap sebagai bentuk penghormatan oleh kerajaan Sunda.

Tak berapa lama, istri Raja Brawijaya tersebut mengandung hingga di usia kehamilan yang menginjak 9 bulan, ia meminta izin ke suaminya untuk melahirkan, dengan ditemani orang tuanya di Negara Pajajaran. (versi buku Sejarah Panjalu, karya Cakradinata: 2007.48 disebutkan saat hamil 7 bulan Puteri Kencana Larang berangkat ke Pajajaran).

Setelah mendapat izin, Puteri Kencana Larang pun berangkat dengan dikawal prajurit dan persenjataan lengkap. Perjalanan tersebut memakan waktu berminggu-minggu, hingga masa persalinan pun datang.

Saat sampai di tengah hutan belantara, kawasan Kaki Gunung Sawal (sekarang Ciamis, Jawa Barat) Ia melahirkan sepasang anak kembar yang diberi nama Bongbang Larang (laki-laki) dan Bongbang Kencana (perempuan).

Puteri Kencana Larang disebut sempat merasa gagal, lantaran tak berhasil melahirkan di tengah keluarganya di Kerajaan Pajajaran. Namun ia tetap melanjutkan perjalanan, sebagai bentuk tanggung jawab permintaannya.

Sementara itu, diceritakan jika di wilayah Majapahit keadaan politik sedang tak menentu, sehingga Raja Brawijaya tak bisa mengantarnya pulang ke tanah kelahiran.

Kelahiran Maung Panjalu Sebagai Simbol Persaudaraan

Waktu terus berjalan, hingga kedua anak tersebut menjadi remaja setelah dibesarkan di lingkungan Pajajaran. Saat itu keduanya memiliki keinginan untuk bertemu ayahnya di Jawa, dan Bongbang Larang serta Bongbang Kencana pun nekat melakukan perjalanan ke Majapahit

Setelah melakukan perjalanan jauh, keduanya beristirahat di daerah Panumbangan di mana merupakan tempat mereka dilahirkan dulu. Di sana keduanya meminum air di sebuah wadah dandang (semacam kendi) yang tak lain adalah wadah ari-ari mereka sendiri.

Tak lama, ada seorang dukun yang menemui keduanya dan memintanya tinggal untuk sementara waktu sebelum melanjutkan perjalanan. Keduanya pun menuruti, namun sempat melanggar perintah sang dukun agar tak bermain-main di sebuah telaga yang amat jernih bernama Cipanumbangan.

Keduanya pun sempat terjerat sebuah penangkap ikan dari bambu, hingga ditolong oleh petani setempat. Bongbang Larang dan Bongbang Kencana yang tengah terjerat itu dibawa ke kerajaan Panjalu, untuk dipertemukan dengan penguasa di sana.

Setelah bertemu, mereka pun bisa melanjutkan perjalanan hingga berhasil menemui ayahnya Raja Brawijaya di Majapahit.

Sebagai ajakan yang dinilai baik, raja Pajajaran pun menerima dengan hangat pinangan raja Brawijaya tersebut. Hingga tibalah hari pernikahan, dan Puteri Kencana Larang diboyong ke Negara Majapahit di Jawa.

Saat itu, isi surat silaturahmi yang dibawa dari Majapahit disebut menjadi penguat ikatan antara keduanya. Adapun pesan kasih sayang dan perdamaian mendominasi di teks yang ditulis oleh raja Brawijaya, sehingga dianggap sebagai bentuk penghormatan oleh kerajaan Sunda.

Tak berapa lama, istri Raja Brawijaya tersebut mengandung hingga di usia kehamilan yang menginjak 9 bulan, ia meminta izin ke suaminya untuk melahirkan, dengan ditemani orang tuanya di Negara Pajajaran. (versi buku Sejarah Panjalu, karya Cakradinata: 2007.48 disebutkan saat hamil 7 bulan Puteri Kencana Larang berangkat ke Pajajaran).

Setelah mendapat izin, Puteri Kencana Larang pun berangkat dengan dikawal prajurit dan persenjataan lengkap. Perjalanan tersebut memakan waktu berminggu-minggu, hingga masa persalinan pun datang.

Saat sampai di tengah hutan belantara, kawasan Kaki Gunung Sawal (sekarang Ciamis, Jawa Barat) Ia melahirkan sepasang anak kembar yang diberi nama Bongbang Larang (laki-laki) dan Bongbang Kencana (perempuan).

Puteri Kencana Larang disebut sempat merasa gagal, lantaran tak berhasil melahirkan di tengah keluarganya di Kerajaan Pajajaran. Namun ia tetap melanjutkan perjalanan, sebagai bentuk tanggung jawab permintaannya.

Sementara itu, diceritakan jika di wilayah Majapahit keadaan politik sedang tak menentu, sehingga Raja Brawijaya tak bisa mengantarnya pulang ke tanah kelahiran.

Dalam kisahnya tak begitu detail ditulis perubahan Bongbang Larang dan Bongbang Kencana menjadi dua ekor maung. Namun Ceppi menuliskan jika keduanya berubah menjadi macan setelah meminum air dari bekas ari mereka saat berada di Panumbangan, Panjalu.

Tapi versi lain, di buku Sejarah Panjalu disebutkan jika Maung Panjalu merupakan gelar yang diberikan Raja Brawijaya atas keberanian kedua anaknya melakukan perjalanan tanpa dikawal dari Pajajaran ke Majapahit.

Anak kembar tersebut juga telah menceritakan proses kelahirannya di Hutan Panjalu, hingga berhasil menemui ayahnya saat itu.

Gelar tersebut konon sebagai simbol lambang persaudaraan antara Sunda dan Majapahit atas kedua anaknya yang lahir di Panjalu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibuikota India Menutup Sekolah Selama Sepekan dan Mempertimbangkan Lockdown Polusi Karena Udara Semakin Tercermar

Cerita Kehidupan Warga Surabaya Era Tahun 1850-an Pada Belum ada Penerangan Jalan

Sejarah Jaman Ir.Soekarno Terkait Konfrotasi Indonesia Dengan Malaysia